Antara Logika Atau Perasaan
Saturday, February 23, 2019
klinikabar.com, Antara Logika Atau Perasaan - Logika Atau Perasaan? Anda tahu hal yang semestinya dan yang ingin anda lakukan. Itulah awalnya nalar dan suara hati berseberangan jalan. Lalu mana yang harus dipilih antara logika atau perasaan. Mungkin anda cukup sering mendengar dilema klasik seperti pengalaman sebagai berikut : Setahun berpacaran dengan pemuda yang memiliki masa depan cerah, tapi batinnya merasa kurang sreg. Putus atau lanjutkan? Putus, berarti membuang peluang yang sudah ada dalam genggaman, untuk suatu yang belum pasti. Mau cari pria yang bagaimana lagi? Dia baik, mapan, dan setia. Bisik nalarnya, sementara sebagian dari dirinya berontak ingin lepas.
Antara Logika Atau Perasaan
Dilema kepala versus hati tidak hanya berlaku pada urusan asmara semata, tapi juga berlaku pada bidang lain. Karir, misalnya, seperti yang sering kita dengar; ketika seseorang merasa bingung harus pindah bekerja (tapi dia cinta pekerjaannya). Rasanya mentok dan tidak mengerti harus berbuat apa? Dan kasus lain terdengar; Seorang wanita ingin mengubah hidupnya lebih baik dengan mencari pacar pria dari negara lain berharap bisa pindah kerja dan memiliki kehidupan yang lebih baik di negara orang, tapi hatinya tidak dapat dipungkiri bahwa Negara tempat ia dilahirkan masih menjadi tempat paling baik untuknya karena sangat mencintai tanah airnya.
Dilema logika atau perasaan, dilema kepala versus hati ini adalah pekerjaan rumah langganan bagi para terapis dan konsultan. Tidak ada jawaban yang baku dan benar dalam debat seru logika atau perasaan, kepala versus hati. Lalu bagaimana solusinya ketika harus memilih logika atau perasaan?
2 Solusi Antara Logika Atau Perasaan
1. Tidak Ada Win Scenario
Perdebatan antara logika atau perasaan memang melelahkan. Semakin serius memikirkannya, anda bisa semakin hanyut dalam kebingungan. Bagaimana tidak? Sebagian dari anda, bagian kepala, ingin meniti jalan sebelah kanan, sedangkan bagian lainnya, hati, lebih suka mengambil arah sebaliknya. Repotnya lagi, masing-masing punya sisi benarnya. Akibatnya, memilih jalan yang satu berarti mengkhianati opsi lainnya.
Ambil contoh, seseorang mempunyai dilema sangat pelik. Dia diterima bekerja pada perusahaan alat-alat olahraga dan mendapat posisi bagus, karena kebetulan bosnya, laki-laki juga, menaruh simpati khusus padanya. Sementara dia, laki-laki cenderung memiliki selera seksual yang lumrah-lumrah saja. Jelas merasa tersiksa dengan faktor non-teknis di tempat kerjanya.
Dia bersikukuh ingin keluar dari pekerjaannya, tapi setiap kali keberaniannya memuncak, muncul lagi argumen internal dalam dirinya : Dia harus berpikir panjang. Posisi di pekerjaan yang bagus, belum lagi ditambah adik-adiknya yang masih memerlukan biaya untuk pendidikannya, maka dia benar-benar tidak ada pilihan. Seperti buah simalakama. Pilih keluar, adiknya akan terbengkalai, sedangkan jika bertahan di kantor itu, dia merasa tersiksa. Akhirnya dia merasa dirinya terbagi-bagi. Rasanya sakit.
2. Ajukan Pertanyaan Berbeda
Secara empiris, dalam mengambil keputusan hidup yang besar, tidak ada jawaban yang benar atau salah. Yang mesti anda ingat : Apa yang terbaik buat anda! Gampang untuk diucapkan, tapi sulit untuk dilakukan. Karena, semakin banyak advis yang didapat (maklum, setiap orang kapabel memberikan saran), Anda pin menjadi tambah pusing. Katakan anda harus memilih satu dari dua pilihan.
Jalan terbaik dari dilema perasaan atau logika ini, adalah dengan mundur satu langkah dari dilema yang ada, lalu coba cari tahu siapa diri anda sebenarnya. Kebanyakan orang salah dalam mengambil sikap. Mereka cenderung membenamkan diri dalam persoalan, dan semuanya langsung lancar.
Padahal dilema jelas merupakan bukti ada sesuatu dalam diri anda yang belum terselesaikan. Dan, itulah yag semestinya lebih anda perhatikan. Dalam dilema logika atau perasaan, pada prinsipnya anda di tuntut untuk mengeksplorasi diri lebih dalam lagi, untuk itu anda mesti mau menguras banyak emosi, pikiran dan pengalaman diri yang mungkin berkaitan dengan dilema itu, maupun yang tidak.
Kebanyakan orang sering enggan mengenali diri sendiri, karena merasa energinya terlalu terkuras ke dalam persoalan seperti itu. Akhirnya dia balik lagi ke situasi deadlock.
Satu opsi untuk keluar dari situasi tidak nyaman itu adalah kembali ke konflik antara logika atau perasaan. Jika sisi "berpikir" anda (kepala) dan sisi "Berperasaan" (hati) saling berontak, anda mesti tanyakan ke diri anda sendiri "Apakah kepala saya merasakannya? Apakah hati saya yang berpikir? Dalam waktu cepat, akan terungkap kumpulan perasaan yang terakumulasi dalam proses berpikir dan sebaliknya. Proses berpikir dan perasaan pun menjadi kaya.
Ketika perasaan atau logika yang harus dipilih, coba anda bertanya pada diri anda sendiri bagaimana hati anda berbicara, karena terkadang hati memiliki alasan yang cukup logis. Perasaan tidak hanya sekedar romantisme belaka, tapi cukup berpikir. Analisis hatinya cukup menunjukkan integritas bagi kita untuk memilih apa yang harus dipilih.
Yang penting disini adalah memunculkan suara-suara dari dalam diri dan mencoba mendengarkannya. Jadi, bukan perkara pertarungan antara kepala vs hati, melainkan perpaduan antara suara logika dan suara perasaan, serta analisis keduanya.
Penutup
Point pentingnya anatar logika dan perasaan : informasi baru itu datangnya dari diri anda sendiri, bukan dari luar (dari orang lain). Jelas proses dialog ini akan melahirkan keputusan khusus, yang sangat tergantung pada bermacam faktor internal maupun eksternal, terkait pada pokok permasalahan atau tidak. Andalah yang melakukan kajian itu. Bukan orang lain.
Baca Juga 7 Cara Menikmati Masa Lajang Yang Menyenangkan
Baca Juga 7 Cara Menikmati Masa Lajang Yang Menyenangkan